Dieng bisa diartikan sebagai Di (tempat) dan Hyang (Dewa) sehingga secara keseluruhan, Dieng diartikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa (http://id.wikipedia.org/wiki/Dataran_Tinggi_Dieng) . Namun ada juga sebagian yang mengartikan Dieng dari kata Adi (agung) dan Aeng (ajaib) sehingga Dieng menurut versi ini diartikan sebagai tempat yang agung dan menyimpan berbagai keajaiban.
Kawasan pegunungan yang terletak pada ketinggian 2063 m dpl dengan temperatur 10 sampai dengan 20 derajat Celcius. Bahkan pada waktu-waktu tertentu suhu bisa mencapai nol derajat Celcius sehingga menimbulkan bun upas atau embun yang merusak tanaman para petani.
Pegunungan Dieng terletak di dua Kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Adalah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjanegara yang memiliki hak wilayah atas Dieng. Sehingga pengelolaan kawasan pegunungan Dieng pun menjadi persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan energi yang cukup besar untuk mengkajinya.
Dieng yang konon mulai didiami oleh Suku Sunda dan Suku Jawa kira-kira 1400 tahun yang lalu itu memiliki pesona alam dan budaya tersendiri. Pesona alam yang cukup indah (dan masih tersisa) dapat dilihat dari beberapa obyek wisata yang ada semisal Telaga Warna (Telaga Werna), Telaga Pengilon, Kompleks Candi, Kawah Sikidang, Kawah Sinila, Sumur Jalatunda dan Tuk (Mata Air) Bimolukar.
Kerusakan kawasan Dieng yang terjadi saat ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap perubahan iklim di daerah sekitarnya. Kerusakan yang terjadi ternyata sudah berlangsung cukup lama. Mungkin sebuah kebuntuan opini jika kita menyalahkan masyarakat di sekitar kawasan Dieng sebagai penyebab utama kerusakan yang terjadi di sana. Penggunaan kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air sebagai lahan tanaman kentang oleh petani akhirnya dijadikan salah satu bagian yang mengambil peranan dalam kerusakan itu. Padahal, banyak pihak yang seharusnya mengambil peranan untuk merasa bersalah atas kerusakan kawasan itu. Pemerintah sebagai stake holder, harus mengambil peranan juga dalam usaha pemulihan kawasan Dieng untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Penyuluhan dan usaha menawarkan alternatif tanaman yang lebih ramah lingkungan menjadi pilihannya.
Namun, peranan pemerintah agaknya tidak bisa dijadikan tumpuan utama penyelesaian masalah ini. Masyarakatlah tumpuannya. Sejauh tidak ada perubahan yang berarti pada pola pikir masyarakat, pemulihan kawasan Dieng masih harus menempuh jalan panjang.
Meruba pola pikir masyarakat merupakan pekerjaan rumah besar bagi kita semua, kalau anak-anak kita masih ingin melihat Dieng sebagai tempat yang nyaman untuk berwisata. Atau kita akan mewariskan Dieng sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa investor yang semakin gendut perutnya ? Save Dieng for the Last !
Kawasan pegunungan yang terletak pada ketinggian 2063 m dpl dengan temperatur 10 sampai dengan 20 derajat Celcius. Bahkan pada waktu-waktu tertentu suhu bisa mencapai nol derajat Celcius sehingga menimbulkan bun upas atau embun yang merusak tanaman para petani.
Pegunungan Dieng terletak di dua Kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Adalah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjanegara yang memiliki hak wilayah atas Dieng. Sehingga pengelolaan kawasan pegunungan Dieng pun menjadi persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan energi yang cukup besar untuk mengkajinya.
Dieng yang konon mulai didiami oleh Suku Sunda dan Suku Jawa kira-kira 1400 tahun yang lalu itu memiliki pesona alam dan budaya tersendiri. Pesona alam yang cukup indah (dan masih tersisa) dapat dilihat dari beberapa obyek wisata yang ada semisal Telaga Warna (Telaga Werna), Telaga Pengilon, Kompleks Candi, Kawah Sikidang, Kawah Sinila, Sumur Jalatunda dan Tuk (Mata Air) Bimolukar.
Kerusakan kawasan Dieng yang terjadi saat ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap perubahan iklim di daerah sekitarnya. Kerusakan yang terjadi ternyata sudah berlangsung cukup lama. Mungkin sebuah kebuntuan opini jika kita menyalahkan masyarakat di sekitar kawasan Dieng sebagai penyebab utama kerusakan yang terjadi di sana. Penggunaan kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air sebagai lahan tanaman kentang oleh petani akhirnya dijadikan salah satu bagian yang mengambil peranan dalam kerusakan itu. Padahal, banyak pihak yang seharusnya mengambil peranan untuk merasa bersalah atas kerusakan kawasan itu. Pemerintah sebagai stake holder, harus mengambil peranan juga dalam usaha pemulihan kawasan Dieng untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Penyuluhan dan usaha menawarkan alternatif tanaman yang lebih ramah lingkungan menjadi pilihannya.
Namun, peranan pemerintah agaknya tidak bisa dijadikan tumpuan utama penyelesaian masalah ini. Masyarakatlah tumpuannya. Sejauh tidak ada perubahan yang berarti pada pola pikir masyarakat, pemulihan kawasan Dieng masih harus menempuh jalan panjang.
Meruba pola pikir masyarakat merupakan pekerjaan rumah besar bagi kita semua, kalau anak-anak kita masih ingin melihat Dieng sebagai tempat yang nyaman untuk berwisata. Atau kita akan mewariskan Dieng sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa investor yang semakin gendut perutnya ? Save Dieng for the Last !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar