Rabu, 09 Januari 2008

Pasca Gempa Ada yang Gembira

Gempa bumi (tanpa Tsunami) pada tanggal 27 Mei 2006 mengguncang bagian tengah wilayah Indonesia dengan kekuatan mencapai kekuatan 5,9 pada Skala Richter selama 52 detik. Pusat gempa berasal dari kedalaman yang relatif dangkal yaitu 33 kilometer di bawah tanah mengakibatkan kerusakan besar, terutama di Kabupaten Bantul di Provinsi Yogyakarta dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Setelah hampir dua tahun Pemerintah melaksanakan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi, wilayah Pasca Gempa Bumi masih menyisakan permasalahan. Uluran tangan dan usaha Pemerintah melalui kegiatan tersebut ternyata banyak yang tidak pada sasaran yang tepat atau dengan bahasa politis “diselewengkan”.

Dari data yang dihimpun BAPPENAS tercatat 5.760 orang tewas, sebanyak 388.758 rumah rusak termasuk di dalamnya 187.474 roboh (walah…!) dan jumlah bantuan yang digelontorkan untuk mengatasinya mencapai trilyunan rupiah !

Mekanisme bantuan untuk rumah yang rusak melalui Program Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Gempa Bumi secara sederhana saya ilustrasikan begini : dikirimlah tim untuk melakukan pendataan kondisi rumah. Tim ini terdiri dari berbagai unsur antara lain pemerintah daerah, tokoh masyrakat, kepala dusun, RT termasuk mahasiswa (sebagai bentuk pemberdayaan dan pengabdian masyarakat) data yang terkumpul dari tim ini, diterjemahkan dalam bentuk data tingkat kerusakan (dilampiri foto) yang nantinya akan mempengaruhi besarnya bantuan yang akan diterima warga korban gempa. Permasalahannya, ketika tim survey "menilai" tingkat obyektifitasnya menjadi diragukan. Apalagi sangat besar pengaruh "orang-orang yang berkepentingan" untuk ikut campur tangan dalam pelaksanaan survey. Gambaran yang saya peroleh dari teman mahasiswa yang ikut menjadi anggota tim survey, ketika survey dilaksanakan banyak sekali permintaan untuk mark up, yang seharusnya rumah yang bersangkutan dalam kondisi rusak ringan dimasukkan ke dalam kondisi rusak berat dengan imbalan sebagian bantuan disetor ke "kas pribadi".

Hasilnya cukup spektakuler, banyak rumah yang seharusnya masuk kategori rusak ringan tetapi bantuan yang diterima masuk dalam kategori bantuan untuk rusak berat/roboh, tetapi setelah dipotong "upeti" untuk orang-orang tertentu. Bahkan kandang sapi pun dikategorikan sebagai sebuah rumah agar memperoleh bantuan.

Yang sangat memprihatinkan, banyak korban gempa yang kondisi rumahnya rusak berat/roboh tetapi justru tidak memperoleh bantuan apapun. Karena, kondisi rumah yang rusak berat/roboh tidak memungkinkan adanya "penggelembungan" bantuan yang bisa "digembosi" lagi.

Proses mempengaruhi tim survey pun dengan berbagai cara. Sebagai ilustrasi, ada yang dengan menggunakan preman sebagai senjata paling cocok untuk mengintimidasi.

Diindikasikan, penyelewengan dana (menurut Metro TV) mencapai hampir 500 miliar rupiah. Sederet angka yang cukup spektakuler untuk masuk ke dalam kantong-kantor mereka yang tidak berhak menerima.

Beberapa teman "oknum mahasiswa" yang pulang dari Klaten sebagai bagian dari tim survey (seolah-olah seperti sepasukan prajurit yang pulang dari medan pertempuran untuk membela negara) banyak yang berubah penampilan.. motor baru, HP baru, dan segala fasilitas modern lainnya (katanya sebagai perwujudan jati diri yang mapan)

Sebaiknya, kita doakan saja... agar mereka yang menerima "gembosan" dana dari
"pengelembungan" yang dilakukan akan segera tobat dan kembali ke jalan yang benar. Meskipun seharusnya proses hukum untuk menyelesaikan masalah ini harus ada. Oh.....


Tidak ada komentar: